Tuesday, March 31, 2015

Kenangan dari Lembergar Surat Kabar

Menjadi seorang editor, penyunting bahasa, dan sekarang bergelut dalam dunia penyebar virus membaca buku, bukan berarti saya sudah suka membaca sejak kecil. Bahkan bisa dikatakan, saya telat sekali punya hobi suka membaca. Apakah orangtua saya tidak pernah memotivasi saya untuk suka membaca? Justru saya sampai bosan mendengarkan wejangan Bapak agar saya suka baca sejak kecil.

“Orang-orang pintar itu orang-orang yang suka baca. Ayo, makanya baca buku-bukumu!” begitulah kurang lebih perkataan Bapak waktu itu.

Namun, ternyata nasihat dan ajakan orangtua saya ketika itu menjadi tidak menarik karena tidak didukung fasilitas dan modeling. Orangtua menginginkan saya suka membaca, tetapi hanya buku-buku pelajaran yang tersedia. Buku-buku yang isinya belum memikat anak-anak untuk suka. Orangtua mengharapkan saya hobi membaca, namun mereka tidak sempat membaca juga membacakan buku untuk kami, anak-anaknya. Jadi, bagaimana bisa saya terbiasa membaca? Tidak, saya sama sekali tidak menyalahkan mereka. Ini mungkin memang keterbatasan mereka. Namun, setidaknya mereka menginginkan dan selalu berusaha agar kami menjadi jauh lebih baik daripada mereka.

Seingat saya, saya mulai suka dengan bacaan adalah ketika usia prasekolah. Sekitar usia balita. Ketika itu, hampir setiap hari saya minta dibacakan Lembergar (Lembar Bergambar) Poskota. Duh, bacaan yang tidak cocok sekali ya untuk anak-anak? Yah, begitulah kenyataannya.

Surat kabar itu selalu ada di warung Bapak. Padahal Bapak tidak pernah berlangganan, tetapi selalu saja ada pelanggan soto Bapak yang meninggalkan koran itu di meja saji. Ya Allah, kalau ingat itu rasanya saya malu sekali. Ternyata lembaran bergambar dengan warna-warni mencolok itu menampilkan ilustrasi yang bukan konsumsi anak-anak. Ya, sebenarnya Lembergar itu adalah anekdot, bacaan untuk orang dewasa yang temanya kritik pada pemerintah atau kondisi sosial. Ah, pantas saja Bapak selalu mengelak setiap kali saya minta dibacakan Lembergar itu. Akhirnya, ketika saya kelas satu Sekolah Dasar (SD), saya bisa membacanya sendiri. Dan, saya tidak paham isinya, juga muncul rasa jengah dengan gambaran cerita Si Doyok, Ali Oncom, atau Si Otoy.

Berhentilah saya membaca Lembergar, lalu bergantilah bacaan saya menjadi buku-buku pelajaran lungsuran, yang ujudnya sudah tidak karuan. Bagaimana tidak, saya adalah orang ketiga yang mendapat buku pelajaran yang dibeli di tukang loak! Jangan hitung kreasi kedua kakak laki-laki saya yang membuat tulisan buku menjadi tertutupi segala coretan mereka, karena bahkan pemilik pertama buku loakan tersebut juga entah melakukan apa pada buku itu. Terkadang, kalau saya sudah putus asa sekali menerima lungsuran buku dari mereka, saya dengan hati-hati meminta Bapak membelikan lagi buku tersebut. Saya tahu kondisi perekonomian kami belum stabil, tapi setidaknya saya boleh kan mendapat buku yang sedikit layak. Tidak mengapa beli di toko buku bekas, asal saya pilih sendiri, asal saya pemakai pertama buku bekas itu di keluarga ini.

Sejak saat itu, saya pun berkenalan dengan toko buku bekas. Saya terkagum-kagum, karena ternyata bukan hanya buku pelajaran yang ada di sana. Buku-buku cerita, dongeng, majalah-majalah bekas, kamus, Atlas, RPUL, RPAL, ternyata juga ada. Hei, memangnya kamu belum pernah ke toko buku? Tentu saja belum, karena saya belum pernah membeli buku baru!

Sejak saya memutuskan untuk tidak membaca Lembergar, saya mulai menyukai cerita anak di surat kabar yang sama, khusus edisi akhir pekan. Setiap akhir hari Minggu, ada satu lembar khusus yang memuat cerita-cerita pendek khusus anak. Dari situlah saya mulai menyukai cerita fiksi. Nah, sejak sering ke toko buku bekas, saya pun mulai membeli sedikit-sedikit majalah Bobo bekas atau buku cerita anak yang sesuai dengan celengan saya.

Kegemaran saya membaca buku cerita akhirnya menarik perhatian teman saya. Yunita Damayanti namanya. Saya bersyukur sekali mengenal dan bersahabat baik dengannya. Mengapa? Karena ia memiliki harta karun yang luar biasa. Bukan emas dan permata, atau coklat juga es krim beraneka rasa! Lihatlah, buku-buku anak dan majalah-majalah Bobo rapih tersusun di rak buku rumahnya. Saya tidak ingat, ibunya berprofesi apa, tapi yang jelas di sebuah penerbit ternama. Mungkin sejak saat itu, alam bawah sadar saya menginginkan saya kelak menjadi orang-orang yang berkecimpung dalam penerbitan. Sayangnya, ketika kelas lima SD, Ita, begitu sapaannya, pindah rumah berikut pindah sekolah. Sedih rasanya, tetapi saya tahu keluarganya pindah demi kebaikan. Karena ternyata, daerah rumah mereka menjadi langganan banjir.

Perpisahan itu menjadi motivasi saya untuk rajin menabung agar saya bisa tetap menikmati bacaan-bacaan yang saya sukai. Sementara itu, rekor tertinggi uang saku harian saya pada waktu itu adalah Rp 500,-. Itu pun saya peroleh ketika saya masuk kelas enam SD. Saya berusaha mengirit jajan demi bisa membeli buku-buku Enid Blyton, buku dongeng Putri Aurora, Kucing Bersepatu Boot, juga majalah-majalah Bobo. Alih-alih bersiap dengan ujian kelulusan, saya malah doyan keluyuran ke toko buku sungguhan, dalam artian bukan toko buku bekas. Ya, ketika itu saya sudah berani naik angkot ke Pasar Kramatjati dan menukarkan rupiah yang tak seberapa di sebuah toko buku dan peralatan sekolah dengan satu atau dua buah buku baru. Tentunya saya pergi ke sana dengan teman-teman. Dari situlah kegemaran membaca itu berangsur-angsur tumbuh.
Sekarang, saya mulai paham. Orangtua saya sudah sebisa mungkin memotivasi dan memfasilitasi kami untuk menyukai buku, menyukai ilmu, meski dengan segala keterbatasan mereka. Mereka sangat paham bahwa buku adalah cakrawala pengetahuan yang ketika dibaca, dipahami dengan akal dan hati, lalu diamalkan akan menjadikan pembacanya orang yang lebih baik, bahkan menjadikannya sukses kelak. Saya pun mengaminkan penyataan bahwa setiap anak sejatinya tidak akan pernah menolak tawaran bermain, bernyanyi, dan bercerita. Nah, yang terakhir ini bisa kita terapkan dengan membacakan cerita. Betapa pun sepertinya seorang anak terlihat acuh ketika kita membaca cerita, ingatlah bahwa sesungguhnya mereka merekam apa yang kita bacakan. Jadi, tidak pernah ada kata terlambat membacakan buku, pun tidak pernah ada kata terlalu dini membacakan buku untuk anakku. Yuk, kepung buah hati kita dengan buku-buku bergizi!

1 comment:

Gina Jufri said...

Anak timur maennya di kramat jati :)