Tuesday, March 31, 2015

Lancar Bicara Karena Membaca

Hati orangtua mana yang tidak pilu jika orang-orang di sekelilingnya mengatakan bahwa anaknya sulit diatur, bandel, atau keras kepala? Ah, mungkin perasaannya saya terlalu sensitif! Begitu selalu saya menenangkan hati, setiap kali mendengar laporan pengasuh anak saya atau orangtua saya ketika saya menitipkan putra sulung saya. Ketika itu, saya masih seorang karyawan di sebuah penerbitan. Bekerja seharian, meninggalkan rumah dari pukul tujuh pagi dan sampai ke rumah pukul tujuh malam. Maka, menitipkan anak kepada pengasuh atau orangtua adalah salah satu jalan saya bisa pergi keluar untuk menjemput rezeki.

“Duh, Mamah enggak ngerti kalau dia ngomong. Enggak tahu deh dia minta apa. Ujung-ujungnya kesal, trus marah-marah,” begitu biasanya saya dapat laporan.

Seperti disayat sembilu. Karena saya merasa sayalah yang menjadi penyebab anak saya sulit dipahami bicaranya, menjadi anak yang pemarah, menjadi anak yang bandel. Bismillaah, saya pun memutuskan resign dari pekerjaan saya. Toh, memang saya sudah meniatkan untuk kembali ke rumah, ke profesi sejati saya setelah menikah, menjadi istri juga ibu anak-anak saya. Memang, ada banyak ibu bekerja di dunia ini. Mereka bisa tuh optimal dalam kerja dan rumah tangganya. Maka, saya acungkan kedua jempol sambil mengucapkan, “Sungguh, kalian ibu-ibu hebat!” Sementara saya, cukuplah saya kembali ke rumah, karena nyatanya saya gagal berperan maksimal di keduanya.

Speech delayed, begitulah diagnosis untuk sulung saya. Lagi-lagi, saya seperti dilucuti! Saya seorang editor, seseorang yang terbiasa mengoreksi bahasa seorang penulis, dan saya punya anak yang mengalami keterlambatan berbahasa, belum mampu berbicara! Untuk apa selama ini saya menyalahi-membenarkan tulisan orang lain sementara saya tak mampu mengajarkan cara berbicara yang benar kepada anak saya? Itulah pikiran emosional saya ketika awal-awal saya berhenti bekerja. Saya pun bertekad dalam hati, saya akan mengubah pelabelan dari orang-orang, dari keluarga terhadap anak saya. Saya akan tunjukkan kepada mereka bahwa anak saya normal, anak saya baik-baik saja. Ia anak yang shalih, ia anak yang baik, ia anak yang pintar.
Namun, tekad itu pelaksanaannya tidaklah semudah pengucapannya. Menjadi seorang ibu rumah tangga dengan dua putra batita, yang sebelumnya seorang ibu bekerja itu tidaklah mudah. Sejak berhenti bekerja otomatis saya tidak lagi memakai jasa pembantu rumah tangga. Semua pekerjaan domestik saya kerjakan sendiri. Tergagap di awal, terkadang menangis, kesal, sampai rasanya ingin kembali saja menjadi karyawan. Namun, sekali lagi saya diingatkan oleh kedua buah hati saya. Ah, di sinilah seharusnya saya berada!

Sambil beradaptasi dengan kondisi saat itu, saya mulai mencari cara mengatasi hambatan wicara sulung saya. Segala buku, artikel, dan tips psikologi dan parenting mengenai keterlambatan bicara, saya pelajari. Sedikit demi sedikit saya praktikkan. Alhamdulillah, ada perkembangannya meski masih lamban. Dan, satu hal ternyata yang saya rasakan dominan pengaruhnya, yaitu membacakan buku.

Masih melekat di ingatan saya, ketika Azzam, anak sulung saya, berusia tiga tahun, bicaranya masih terbata-bata. Masih dua kata, setelah itu bahasa entah apa. Sementara itu, anak-anak tetangga depan, samping kanan, dan kiri kami, yang sepantaran usianya (3—5 tahun) sudah fasih betul bicaranya. Bahkan, kata-kata negatif pun sudah biasa terlontar. Awalnya, saya mensterilkan anak-anak saya dari mereka karena saya berpikir anak saya belum cukup imun terhadap terpaan berbahasa negatif. Anak saya yang baru tahap belajar dan meniru omongan orang, belum bisa menfilter apa yang ia dengar itu baik atau tidak. Di situlah saya diuji lagi. Saya harus bisa menanamkan kepada anak-anak saya bahwa ada perkataan yang baik dan ada perkataan yang tidak baik. Ada yang pantas diucapkan ada yang tidak boleh diucapkan. Karena itulah, saya lebih gencar lagi mengisi ruang-ruang memori bahasa anak saya dengan kata-kata yang ada dalam buku.

Kekhawatiran saya terhadap perkembangan bahasa anak saya membuat saya ketika itu memutuskan untuk mengenalkan dunia Taman Kanak-kanak (TK) kepada sulung saya. Usianya belum genap empat tahun ketika Azzam masuk TK, baru lulus toilet training yang kadang masih kebobolan, bicara pun masih harus benar-benar diperhatikan, tapi saya menitipkan ia ke sekolah. Bukan karena ingin cepat pintar, bisa calistung, menghafal Al-Qur’an, bukan. Saya hanya berharap Azzam dapat teman berbahasa yang baik. Alhamdulillah, Allah ijabah doa saya. Tiga bulan pertama, saya berdiskusi dengan gurunya.
“Masya Allah, Bunda, Azzam sudah signifikan perkembangan bahasanya. Awal-awal saya masih suka diamuk karena tidak juga paham ketika Azzam berbicara, sekarang malah gaya bahasanya Bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti bahasa buku,” begitu komentar gurunya.

Saya jadi tersentak, mungkinkah ini karena saya membiasakan berbicara dengan bahasa sesuai bukunya? Buku #Halo_Balita adalah buku yang saya andalkan setiap saat saya menterapi Azzam dengan membacakan buku. Itulah mengapa ia lebih terbiasa bilang tidak daripada enggak, kata sudah untuk udah. Dia lebih sering membahasakan dirinya dengan kata saya atau aku ketimbang Azzam, namanya. Ia selalu menggunakan kalimat tanya yang baku daripada kalimat tanya untuk bahasa langsung.

“Bunda, saya boleh main tidak?”

“Saya sudah tidak mau makan.”

“Kita kan sudah pernah pergi ke situ, ya?”

Begitulah kalimat-kalimat yang biasa ia sampaikan. Satu yang masih mengganjal, ia masih belum bisa fasih untuk cadelnya. Huruf R. Juga beberapa kata yang masih kebayi-bayian, seperti mam untuk makan, nenen untuk menyusu, dan pipis untuk buang air kecil. Itu memang salah kami yang masih terkadang menggunakan kata-kata tersebut.

Membaca ternyata juga menjadikan Azzam bisa survive ketika bersosialisasi dengan anak-anak tetangga. Ketika usianya empat tahun, saya mulai mengizinkan Azzam nenangga, bermain di luar bersama teman-teman sebayanya. Sebelumnya, saya hanya membolehkan teman-temannya yang bermain di rumah kami. Alasannya? Saya lebih bisa mengingatkan teman-temannya untuk berbicara yang baik dan sopan. Itu pun biasanya saya ikut serta bermain atau sambil membacakan buku bagi mereka. Nah, jika sebelumnya ia sering diledek karena bicaranya tidak dipahami, sekarang ia sudah mulai lancar berkomunikasi dengan teman-temannya. Jika ada temannya yang mulai bercanda dengan mengolok-olok atau memaki, ia sudah bisa mengingatkan bahwa itu bukan perkataan baik dan tidak pantas diucapkan. Juga, ketika teman-temannya main tebak-tebakan, Azzam bisa membeberkan perbedaan monyet, orang utan, dan gorilla. Darimana ia tahu? Tentunya dari #Ensiklopedi_Bocah_Muslim yang juga sering saya bacakan.

Ya, saya memang sempat kehilangan beberapa momen keemasannya, sampai-sampai sulung saya mengalami keterlambatan bicara. Saya pernah terpuruk, merasa gagal dan tidak percaya diri. Namun, saya coba bangkit. Saya kembali mengingat bahwa anak-anak tidak akan pernah menolak diajak bermain, bernyanyi, dan bercerita. Maka, saya cukupi penyesalan saya. Saya rebut kembali momen-momen berharga itu. Setiap waktu; pagi hari ketika selesai sarapan, siang hari menjelang tidur siang, juga malam hari menjelang tidur malam, saya selalu luangkan waktu saya, hati saya, dan diri saya. Saya bacakan buku-buku bergizi untuk mereka. Nutrisi alami untuk perkembangan otak juga akhlak. Karena saya sudah mencecap sendiri manisnya buah membaca, maka saya selalu mengusahakan mengepung rumah kami dengan buku-buku. Sehingga, setiap saat mata buah hati saya dan suami terbuka, mereka lihat buku-buku itu menggoda untuk dibuka, untuk dibaca bersama, untuk dijelajah isinya. Sungguh, buku adalah sahabat sejati yang dapat diandalkan!

No comments: