Friday, February 19, 2010

Hidup Tanpa Kotak Ajaib

Sejak memutuskan hidup terpisah dari orangtua (sejak menikah, aku dan suami masih numpang ke orangtua/mertua), kemudian mengontrak karena belum mampu membeli rumah, kami memang sepakat utk tidak membeli televisi. Awalnya, suami sempat tidak setuju. Baginya, televisi jg bermanfaat, bisa mendengar berita, ada dialog2 yg bisa menambah pengetahuan, kajian2, dsb. OK, memang pasti ada segi positifnya si kotak ajaib itu, tapi kupikir kita toh di rumah utk istirahat (wkt itu belum ada Azzam), berita masih bisa di-update dr internet dan koran (asas manfaat fasilitas kantor), kajian bisa ikut secara langsung, hiburan bs didapat dari buku dan sekarang, tentunya bisa dgn main bersama si buah hati. Ya toh? Maka sepakatlah kami utk tdk membeli barang itu.

Sepanjang perjalanan kehidupan kami di kontrakan mungil di sudut Cibubur nan asri, alhamdulillah tidak ada keluh kesah. Tetangga kami ramah dan masih sangat kekeluargaan. Lingkungan masih asri dan masih banyak pepohonan. Waktu masih hamil, memang kontrakan terasa sepi, tapi sejak si kakak bayi lahir dan akhirnya kita boyong jg ke kontrakan, kontrakan mungil itu diramaikan tangisannya yg membahana seentero kontarakan, tawanya menceriakan kami, dan tingkah polahnya membuat kami tak perlu lagi menonton tv demi mencari hiburan.

Nah, aku pun mulai merealisasikan impianku. Aku mulai membiasakan keluarga kecilku dekat dengan Al-Qur`an dan buku. Alhamdulillah, aku yg bekerja di dunia perbukuan dan mempunyai jatah buku2 yg biasa aku edit, setting, atau nomor lepas yg memang lebih dari percetakan. Azzam pun mulai kuperkenalkan dengan buku2 itu.

Ia sangat excited dgn "mainan" barunya, sampai akhirnya sangat menikmatinya. Ini dalam artian harfiyah, ya. Yup, buku2 itu sukses masuk ke dalam mulutnya. Duh, naaaak... Itu bukan hanya buku2nya, tp ia jg merambah ke Al-Qur`an yg tengah kubaca (ditarik2 dan ingin segera dimasukkan ke dalam mulut), buku yg kubaca (padahal ia sedang kususui, tp tangannya tetap menarik2 buku yg kubaca), dan merangkak2 utk merebut buku/koran yg tengah dibaca buyanya. Mungkin ini pertanda ia memang menyukai buku dan memang ia sedang dalam fase oral (memasukkan segalanya ke mulut).

Selain buku2, Azzam memang tdk kami belikan mainan layaknya anak2 seumurannya. Alih2 membelikannya bola, rattle, baby gym game, mobil2an, dsb, kami membelikannya buku kain dgn aneka variasi (berlubang, berkaca, buka-tutup, dan dpt ditarik2), dan flanel board yg bisa dibuat beraneka ragam bentuk (kalo menurut bukunya bisa 300 bentuk berbeda). Alhamdulillah, Azzam suka.

Nah, semalam itu ponakanku (cucu pertama dari mama mertua) menginap di kontrakan kami. Ini bukan pertama kalinya ia main di kontrakan, tp ini menjadi kali pertama ia menginap di sini. Sewaktu kami pulang kerja, serta merta ia merengek ke omnya (suamiku).
"Om Fahri, beli tivi doooong."
"Memangnya kenapa?" tanya omnya.
"Kakak bosan. Kakak gak bisa tidur, nih," jawabnya sambil bergelayut manja ke omnya.
"Em... coba kakak mainin bukunya dedek Azzam," omnya mengalihkan keinginannya dgn mengambil buku dari pustaka lebah milik Azzam.

Karena buku tersebut memang cukup menarik utk anak2 seusianya (4 thn. buku itu full color, gambarnya lucu2, banyak tebak2an, dan gamenya), akhirnya si kakak melupakan perihal tv. Ia justru antusias membaca dan memainya game yg ada di bukunya. Setelah lelah bermain, kuajak ia tidur, lalu ia pun tidur dgn pulas.

Ah... ternyata hidup tanpa tv itu bisa menyenangkan juga kok. Asal tahu cara menanggulanginya.