Monday, April 27, 2009

Teruntuk Dirimu yang Selalu Mendampingiku

Aku sadar bahwa cintaku mungkin tak sebanding dengan cintamu padaku. Bahkan aku masih sempat merasa asing, terkaget juga karena sudah harus merajut kasih, bukan hanya padamu, keluargamu, tetapi bahkan terhadap jundimu. Sempat sedih dan tak percaya, tapi harus kuterima sebagai anugerah terindah dari-Nya.

Aku sadar betul menerimamu sebagai pendamping hidup bukanlah keputusan biasa. Harus siap menerima apa pun yang ada pada dirimu, baik-burukmu, lebih dan kurangmu, dan semua tentangmu. Dan aku tak mau menyesali itu di kemudian hari.

Sungguh perjalanan kita tak mudah, tapi aku merasa Allah menumpahkan berkah kepada kita. Kita diuji lagi, lagi, dan lagi. Namun, rasanya jalan-Nya selalu menuntun kita kepada yang mudah. Tidak sekali kita diuji, bahkan kemarin engkau sempat sendu. Engkau sosok yang tak pernah terlihat galau tiba-tiba membisu. Seperti kehilangan bara semangat yang tak pernah kulihat redup selama ini.

Khawatir? Tentu, apa lagi setelah kauceritakan kisahmu. Rabbanaa..., hanya kepada-Mu aku mengadu. Aku berpasrah kepada-Mu. Lagi-lagi, rasioku mengatakan ini pasti akan sulit. Aku mungkin masih bisa menanggung ini, tapi sungguh banyak hal yang akan aku korbankan. Rabbanaa..., tolonglah hamba-Mu. Malu aku meminta, tapi aku hanya bisa memohon pada-Nya.

Di mana optimisku yang dulu? Di mana keyakinanku yang keras bagai batu? Aku meraung, meluapkan amarahku pada diriku, menginginkan kembalinya semangatku yang tiba-tiba menguap seiring waktu. Aku yakin aku bisa!!! Kupompa lagi ruhku, agar terpacu dan tak turut dalam sedih dan pilu.

Akhirnya, semua terasa indah. Ujian itu hal biasa. Mungkin aku tak akan temui indahnya sabar, mungkin aku tak akan rasakan nikmatnya ujian, mungkin aku tak akan pernah belajar kekurangan, dan mungkin aku akan terus kehilangan semangat dan optimis yang semakin meregang.

Rabbanaa, aku tahu semua ini dari-Mu. Kutitipkan apa yang Engkau amanahkan kepadaku kepada-Mu. Bimbinglah kami untuk selalu berada di jalan-Mu.

Teruntuk dirimu yang selalu mendampingiku, aku mendukungmu selalu. Engkau nahkodaku, aku kan di sini menyertaimu. Kita arungi biduk ini, meski badai dan ombak menerjang tanpa henti.

Wednesday, April 22, 2009

Jangan Kejadian Lagi, Deh!

Selama enam bulanan menjadi seorang istri, aku kayaknya jarang banget deh masak khusus untuk suami. Masih bisa diitung pake jari-jariku dan jari-jari suami. Gimana, ya? Bukan enggak mau, tapi karena aku tinggal sama mertua yang jago banget masak, jadilah aku cuma bantu Mamah (mertuaku) masak di dapur. Itu artinya semua menu, ingredient, dan cara masaknya menurut instruksi Mamah, bukan kreasi aku. Masak sendiri yang bener-bener gak dikomando ya pas Mamah lagi ke rumah cucunya di Bogor sana atau pas aku pulang kampung, alias rumah ortuku.

Aslinya, aku emang gak jago2 amat dalam hal masak-memasak, tapi dibilang alergi juga enggak. Aku paling suka bikin kue, karena di rumah ortu dulu biasanya ya diamanatin bikin kue-kue aja. Nah, karena Mamah juga pinter banget bikin kue, diturunkanlah ilmu-ilmunya (baru beberapa resep aja, sih) kepadaku. Seneng bangetlah pastinya.

Nah, Jumat malam, sepulang dari kantor, suami ngajakin pulang ke kampung. Aiiih..., senengnya! Tau aja aku lagi kangen ortu and Kamil, keponakanku. Meluncurlah malam itu kita ke Kampung Rambutan. Aku minta dia untuk nemenin belanja di Superindo. Pengennya sih ke Pasar Rebo (pasar tradisional), tapi dah malam gitu ya udah pada tutup deh warung2nya.

Aku belanja bulanan and beli beberapa bahan yang aku siapin sengaja untuk masak spesial for my hubby. Eh, untuk ortu sama penghuni rumah ortu juga sih. ^_^ Kepikiran mau bikin soto lamongan, tumis wortel-buncis-soun, perkedel, tempe goreng (yg satu ini mesti gak boleh absen sekarang2 ini), trus kue muffin sama martabak tahu. Bahan-bahan yang sekiranya masih bisa dibeli di tukang sayur dan yang pasti harganya jauh lebih murah daripada di swalayan itu, jelas gak aku beli. Sejak berumah tangga, "naluri keuangan emak-emak" makin tajam :D

Dalam waktu kurang dari 15 menit, acara belanja selesai. Teledornya aku, aku kelupaan ambil hadiah piring sama mangkok dari deterjen sama pengharum pakaian yg aku beli. Haduh..., kan lumayan yah buat nyicil perabotan ntar kalo tinggal mandiri (gak numpang lagi). Suami cuma senyum-senyum aja, udah biasa kali sama istrinya yg pelupa.

Pas lewatin jalan baru, kita mampir lagi ke tempat cetak foto. Mau cetak foto pernikahan. What??? Hamil udah lima bulanan tapi foto pernikahan belum juga dicetak? Sungguh terlaluh! Yah, berhubung gak pake kamera profesional, makanya di-retouch dulu deh tuh foto2. Karena editing sendiri, trus ngerjainnya di waktu luang, baru kelar belakangan ini. Ampuun. Biarin, deh. Lebih baik telat.

Esok paginya, pas ponakanku belum bangun, aku bikin muffin. Dengan harapan pas dia bangun, tuh kue dah jadi. Alhamdulillah..., sukses euy. Syenengnyah!!! Si Kamil suka, abis 2 cup pas nyicipin pertama. Yang bikin tambah seneng, suami jg suka. Uhuy..., makin pede deh untuk masak2 lagi. Setelah beberes perabotan bikin muffin selesai, aku lanjut masak yang lain. Pertama ngulek-ngulek bumbu2. Bumbu soto duluan, trus bumbu tumisan. Abis itu ngerebus ayam biar keluar kaldunya. Sambil nunggu rebusan ayam, mulai ngolah martabak tahu. Pokoknya ngerjainnya pake sistem "tangan gurita". Ngerjain ini sambil ngerjain itu.

Masak pagi itu dah hampir kelar, tinggal ronde terakhir goreng tempe. Tiba-tiba, suami muncul di dapur.
"Nda, ini fotonya dah Buya ambil," gitu katanya.
Aku penasaranlah pengen liat, tapi nanggung banget nih. Tempe gorengnya belum garing. Aku sempet ngebalik gorengannya. Nah, pas waktu itu, ibu ke dapur.
"Bu, fotonya dah jadi," aku ngasih kabar itu ke ibu. Karena kupikir ibu masih mau di dapur, aku tinggalah tuh tempe goreng dengan asumsi paling ntar ibu yang mengangkat gorengan tempe itu.

Di ruang tengah, aku asyik melihat-lihat dan merapikan foto2 ke album. Lagi khusyuk masukin foto-foto ke album, adikku komentar, "Mbak, kayaknya ada bau-bau gak enak deh."
"Bau apaan, sih? Aku gak nyium, tuh," baru aja aku jawab gitu, "Ian..., tempemu gosong, tuh...!" suara ibuku berseru. Aku langsung ngibrit ke dapur. Astaghfirullah, tuh tempe ampe item kayak areng.

"Lho, kirain masaknya dah selesai," suami ikutan komentar.
"Aku lupa kalo masih ninggalin tempe goreng," jawabku dengan tampang nelongso.
"Bunda, bunda..., masak tempe aja kok gosong."
Argh... !@#$%^&*

Duh, jangan sampe kejadian lagi, deh. Padahal masakan lainnya sukses, tuh. cuma sayang aja tuh 5 potong tempe goreng jadi hitam legam. :(

Monday, April 13, 2009

Allah Yang Mahatahu


Ada tiga hal yang sangat misterius di mata manusia, yaitu nasib, jodoh dan maut. Karena kemisteriusannya, terkadang manusia ”terburu-buru” ingin tahu. Ketika ada satu tahapan yang ia lalu yang berhubungan dengan tiga hal itu, ia pun terkadang tak sabar untuk segera memberitahu khalayak ramai. Padahal, tak seorang pun mengetahui tentang ketiganya selain Allah SWT.

Manusia memang diciptakan dengan karakter ”terburu-buru”, sebagaimana secara tegas dinyatakan oleh Allah SWT sendiri dalam Al-Qur`an, "Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa." (QS Al-Anbiya’ [21]: 37). Dampaknya, mayoritas manusia senantiasa ingin cepat selesai, maunya instan dan segera tuntas.

Salahkah? Ketergesaan itu membuat manusia lalai, tidak tuntas dalam berpikir, sehingga tindakan yang diambil pun tidak memuaskan. Yah, kita tahu bahwa toh tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi berusaha sebaik mungkin dengan tidak terburu-buru memutuskan atau melakukan sesuatu adalah bentuk ikhtiar untuk menjadi hamba yang itqan, profesional, tidak hanya dalam bekerja, namun juga dalam beribadah maupun berhubungan dengan sesama.

Saat masih sekolah, pada tingkat sekolah dasar dan menengah, manusia sering kali ingin cepat selesai, supaya bisa segera kuliah, dan kalau sudah kuliah, ia juga ingin cepat selesai agar segera kerja atau segera menikah, dan begitu seterusnya.

Di lain daerah, sebagian yang lain terburu-buru ingin kaya dengan cepat, akibatnya ia mencuri, meminta-minta, merampok, menjual diri atau menjarah harta atau lembaga lain yang bukan menjadi haknya. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Demikian juga dengan dunia percintaan atau perjodohan. Tak jarang bahwa takdir perjodohan tersebut adanya di angka 7 (misalnya), tapi sudah dikejar semenjak angka 2, akibatnya proses yang berjalan dari angka 5 menuju angka 7 akan terasa lama sekali, inilah yang terkadang dianggap tak kunjung datang. Atau ternyata proses itu baru di angka 3, tapi diperlakukan seperti sudah di angka 1, serasa pasti benar dan tentu tak ada halangan lagi untuk mencapai angka itu, sehingga semua orang pun tahu bahwa mereka sudah pasti dan tentu bersatu, tapi lupa Allah-lah Sang Penentu. Allah Yang Mahatahu takdirmu.

Oleh karena itu, biarkanlah ia indah pada saatnya, duhai saudaraku. Simpanlah ia dalam hatimu jika proses itu belumlah tentu. Karena tidak ada yang lebih tahu siapa jodohmu selain Allah SWT, Yang Mahatahu.

*teruntuk saudara-saudariku yang menanti sebuah episode baru*